Sabtu, 02 Desember 2017

Makalah Baik dan Buruk dalam Pandangan Islam

AKIDAH AKHLAK
BAIK DAN BURUK DALAM PANDANGAN ISLAM









   LAPORAN HASIL MAKALAH
                                  DOSEN PEMBIMBING :  ANDI ADERUS
OLEH :
Utami Istianah
(50500116104)

JURNALISTIK C
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2017/2018

Kata Pengantar
Alhamdulillah, puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah dengan judulBaik dan Buruk dalam Pandangan Islam”.
Sholawat teriring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman yang terang benderang.
Tujuan dibuatnya makalah ini diharapkan agar dijadikan sebagai wawasan kita terhadap mata kuliah “Akidah Akhlak” sesuai dengan tema yang kami angkat. Kami telah berusaha demi keberhasilan dan kesempurnaan makalah ini. Namun, kami merasa masih terlalu banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon kritikan dan saran yang membangun baik dari dosen pembimbing maupun dari rekan-rekan mahasiswa.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua ppihak yang telah membantu dalam penyelesaian Makalah ini, semoga dengan apa yang ada dalam Makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amiin ...


Samata, 11 Mei 2017







DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................................................... i
Kata Pengantar......................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan................................................................................................... 1
      A.    Latar Belakang............................................................................................. 1
      B.     Rumusan Masalah........................................................................................ 2
      C.     Tujuan Penelitian.......................................................................................... 2
      D.    Manfaat Penelitian....................................................................................... 2
Bab II Kajian Teori.................................................................................................. 3
      A.    Pengertian Baik dan Buruk ......................................................................... 3
      B.     Ukuran-ukuran Baik dan Buruk Sepanjang Pemikiran Sejarah Manusia .... 4
      C.     Sifat dari Baik dan Buruk ......................................................................... 15
      D.    Ukuran Baik dan Buruk Menurut Ajaran Islam ........................................ 16
Bab III Penutup..................................................................................................... 22
Kesimpulan........................................................................................................ 22
Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Setiap perbuatan manusia itu ada yang baik dan ada yang buruk. Hati manusia memiliki perasaan dan dapat mengenal perbuatan itu baik atau buruk dan benar atau salah. Baik dan Buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang.
Ada pendapat mengatakan bahwa setiap manusia memiliki kekuatan insting yang berfungsi bagi manusia untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kekuatan ini terkadang berbeda sedikit karena perbedaan masa, tetapi tetap berakar pada setiap manusia. Maka setiap manusia memiliki semacam ilham yang dapat mengenal nilai sesuatu akan baik dan buruknya.
Akhlak berasal dari bahasa Arab jama’ dari bentuk mufradnya “Khuluqun” yang berarti: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan “Khalqun” yang berarti: kejadian, serta erat hubungannya dengan “Khaliq” yang berarti: pencipta, dan “Makhluq” yang berarti: yang diciptakan.
Dalam persoalan ini kita masukkan ke dalam pembahasan makalah karena  perbuatan baik dan buruk berkaitan dengan pembahasan tentang Akhlak, yang antara lain dikatakan bahwa ilmu akhlak ini membahas tentang tingkah laku dan perbuatan manusia.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.    Apa yang disebut dengan baik dan buruk?
2.    Bagaimana ukuran-ukuran baik dan buruk sepanjang sejarah pemikiran manusia?
3.    Bagaimanakah sifat dari baik dan buruk?
4.    Bagaimanakah ukuran baik dan buruk menurut ajaran Islam?

C.      TUJUAN PENULISAN
1.    Mengetahui apa itu baik dan buruk.
2.    Mengetahui ukuran-ukuran baik dan buruk sepanjang sejarah pemikiran manusia.
3.    Mengetahui sifat baik dan buruk.
4.    Mengetahui ukuran baik dan buruk menurut ajaran Islam.

D.      MANFAAT PENULISAN
Penulisan makalah ini dilakukan dengan metode studi, dengan mengambil beberapa sumber-sumber lain dari berbagai buku yang sesuai dengan judul materi “baik dan buruk dalam pandangan islam.
Berhubungan dengan judul makalah ini mengambil sumber dari berbagai buku sebegai bahan refensi atau penambahan materi sebagai pelengkap dalam makalah ini guna menambah ilmu dalam mata kuliah “Akidah Akhlak


BAB II
KAJIAN TEORI

A.      Pengertian Baik dan Buruk
Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Lous Ma’luf dalam kitabnya Munjid mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan.[1] Sementara itu dalam Webster’s New Twentieth Century Dictionary mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian dan seterusnya.[2] Selanjutnya yang baik itu juga merupakan sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan yang memberi kepuasan.[3] Yang baik itu dapat juga berarti sesuatu yang sesuai dengan keinginan.[4] Dan yang disebut baik dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang mendatangkan Rahmat, memberikan perasaan yang senang atau bahagia.[5] Dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa secara umum yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik, jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan disebut nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang kongkret.[6]
Beberapa kutipan tersebut di atas menggambarkan bahwa yang disebut baik atau kebaikan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia.[7] Definisi kebaikan tersebut terkesan anthropocentris, yakni memusat dan bertolak dari sesuatu yang menguntungkan dan membahagiakan manusia. Pengrtian baik yang demikian tidak ada salahnya karena secarah fitrah manusia memang menyukai hal-hal yang menyenangkan dan membahagiakan dirinya. Kesempurnaan, keharuan, kepuasan, kesenangan, kesesuaian, kebenaran, kesesuaian dengan keinginan, mendatangkan rahmat, memberikan perasaan yang senang dan bahagia yang sejalan dengan itu adalah merupakan sesuatu yang dicari dan diusahakan manusia, karena semuanya itu dianggap sebagai yang baik atau mendatangkan kebaikan bagi dirinya.
Mengetahui sesuatu yang baik sebagaimana disebutkan di atas akan mempermudah dalam mengetahui yang buruk. Dalam bahasa Arab, yang buruk itu dikenal dengan istilah syarr, dan diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti yang seharusnya, tidak sempurna dalam kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai, tidak mencukupi, keji, jahat, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.[8] Dengan demikian yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang dinilai sebaliknya dari yang baik, dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia.
Beberapa definisi tersebut memberi kesan bahwa sesuatu yang disebut baik atau buruk itu relatif sekali, karena bergantung pada pandangan dan penilaian masing-masing yang merumuskannya. Dengan demikian nilai baik atau buruk menurut pengertian tersebut bersifat subyektif, karena bergantung kepada individu yang menilainya.

B.       Ukuran-ukuran Baik dan Buruk Sepanjang Sejarah Pemikiran Manusia
Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, berkembang pula patokan yang digunakan orang dalam menentukan baik dan buruk. Keadaan ini menurut Poedjawijatna berhubungan rapat dengan pandangan filsafat tentang manusia (antropologia metafisika) dan ini tergantung pula dari metafisika pada umumnya.[9] Poedjawijatna lebih lanjut menyebutkan sejumlah pandangan filsafat yang digunakan dalam menilai baik dan buruk, yaitu Hedonisme, Utilitarianisme, Vitalisme, Sosialisme, Religiosisme dan Humanisme.[10] Sementara itu Asmaran As, menyebutkan sebanyak empat aliran filsafat, yaitu Adat kebiasaan, Hedonisme, Intuisi dan Evolusi.[11] Pembagian yang dikemukakan Asmaran As ini tampak sejalan dengan pendapat Ahmad Amin yang membagi aliran filsafat yang mempengaruhi penentuan baik dan buruk itu menjadi empat, yaitu Adat-istiadat, Hedonisme, Utilitarianisme dan Evolusi.[12]
Beberapa kutipan tersebut di atas tampak saling melengkapi dan dapat disimpulkan bahwa di antara aliran-aliran filsafat yang mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk ini adalah aliran adat-istiadat (sosialisme), hedonisme, intuisisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme, religiousisme, dan evolusisme. Dengan merujuk kepada berbagai kutipan tersebut di atas beberapa aliran filsafat yang mempengaruhi pemikiran akhlak tersebut dapat dikemukakan secara ringkas sebagai berikut :
1.         Baik Buruk Menurut Aliran Adat-Istiadat (Sosialisme)
Menurut aliran ini baik atau buruk ditentukan berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dan ditentukan berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh masayarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat dipandang baik, dan orang yang menentang dan tidak mengikuti adat-istiadat dipandang buruk, dan kalau perlu dihukum secara adat.
Adat-istiadat selanjutnya disebut pula sebagai pendapat umum. Ahmad Amin mengatakan bahwa setiap bangsa mempunyai adat-istiadat yang tertentu dan menganggap baik bila mengikutinya, mendidik anak-anak sesuai dengan adat-istiadat itu, dan menanamkan perasaan kepada mereka bahwa adat-istiadat itu akan membawa kepada kesucian, sehingga apabila seseorang menyalahi adat-istiadat itu sangat dicela dan dianggap keluar dari golongan bangsanya.[13]
Di dalam masyarakat kita jumpai adat-istiadat yang berkenamaan dengan cara berpakaian, makan, minum, bercakap-cakap dan sebagainya. Orang yang mengikuti cara-cara yang demikian itulah yang dianggap orang yang baik, dan orang yang menyalahinya adalah orang yang buruk.
Kelompok yang menilai baik dan buruk berdasarkan adat-istiadat ini dalam tinjauan filsafat dikenal dengan istilah aliran sosialisme. Munculnya paham ini bertolak dari anggapan karena masyarakat itu terdiri dari manusia, maka akan ada yang berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan baik buruknya tindakan manusia yang menjadi anggotanya. Lebih jelas lagi apa yang lazim dianggap baik oleh masyarakat tertentu, itulah yang baik. Inilah yang kami sebut ukuran sosialistis dalam etika.[14]
Poedjawijatna lebih lanjut mengatakan: “harus diakui, bahwa aliran ini banyak mengandung kebenaran, hanya secara ilmiah kurang memuaskan, karena tidak umum. Kerapkali suatu adat kebiasaan dalam suatu masyarakat dianggap baik, sedangkan dalam masyarakat lain dianggap tidak baik. Adat-istiadat Timur dan Barat misalnya berbeda. Kita tidak punya hak untuk menghukum adat yang ini buruk dan yang itu buruk, tetapi yang dapat dikatakan adalah bahwa adat-istiadat itu sukar dijadikan ukuran umum, karena tidak umumnya itu”.[15] Hal ini bisa dimaklumi karena adat-istiadat pada hakikatnya produk budaya manusia yang sifatnya relatif. Namun demikian keberadaan paham adat-istiadat ini menunjukkan eksistensi dan peran moral dalam masyarakat, mengingat apa yang dikatakan moral sebagaimana diutarakan pada bagian terdahulu bersumber pada adat-istiadat.

2.         Baik Buruk Menurut Aliran Hedonisme
Aliran Hedonisme adalah aliran filsafat yang terhitung tua, karena berakar pada pemikiran filsafat Yunani, khususnya pemikiran filsafat Epicurus (341-270 SM), yang selanjutnya dikembangkan oleh Cyrenics sebagaimana telah diuraikan di atas dan belakangnya ditumbuh-kembangkan oleh Freud.[16]
Menurut paham ini banyak yang disebut perbuatan yang baik adalah perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan nafsu biologis. Aliran ini tidak mengatakan bahwa semua perbuatan mengandung kelezatan, melainkan ada pula yang mendatangkan kepedihan, dan apabila ia disuruh memilih manakah perbuatan yang harus dilakukan, maka yang dilakukan adalah yang mendatangkan kelezatan. Epicurus sebagai peletak dasar paham ini mengatakan bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu adalah tujuan manusia. Tidak ada kebaikan dalam hidup selain kelezatan dan tidak ada keburukan kecuali penderitaan. Dan akhlak itu tidak lain adalah berbuat untuk menghasilkan kelezatan dan kebahagiaan serta keutamaan. Keutamaan itu tidak mempunyai nilai tersendiri, tetapi nilainya terletak pada kelezatan yang menyertainya.[17]
Namun demikian Epicurus lebih mementingkan kelezatan akal dan rohani dibandingkan kelezatan badan, karena badan itu terasa dengan lezat dan derita selama adanya kelezatan dan penderitaan itu saja, dan badan itu tidak dapat mengenangkan kelezatan yang telah lalu dan tidak dapat merencanakan kelezatan yang akan datang. Yang dapat merancang dan merencanakan kelezatan itu adalah akal dan rohani. Oleh karena itu kelezatan akal dan rohani lebih lama dan lebih kekal dibandingkan kelezatan badan.[18] Dengan demikian, pandangan Aliran Hedonisme tentang kelezatan ini sifatnya masih bercorak ilmiah dan intelektualistik.
Pada tahap selanjutnya paham Hedonisme ini ada yang bercorak individual dan universal. Corak pertama berpendapat bahwa yang dipentingkan terlebih dahulu adalah mencari sebesar-besarnya kelezatan dan kepuasan untuk diri sendiri, dan segenap daya upaya harus diarahkan pada upaya mencari kebahagiaan dan kelezatan yang bercorak individualistic itu. Selanjutnya corak kedua (Universalistis Hedonisme) memandang bahwa perbuatan yang baik itu adalah yang mengutamakan mencari kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sesama manusia, bahkan segala makhluk yang berperasaan.[19] Karena kesenangan yang dikehendaki oleh pengikut paham ini bukan kenikmatan bagi orang per orang saja, tetapi untuk semua orang. Maka bagi setiap yang melakukan perbuatan perlu mempertimbangkan jangan sampai berat sebelah kepada dirinya, tetapi sedapat mungkin ia harus menjadikan sama antara kenikmatan yang dirasakan dirinya dan dirasakan orang lain.
Sejalan dengan itu maka perbuatan yang dianggap utama dan baik apabila perbuatan itu menghasilakn kebahagiaan bersama, dan sedikit menyedihkan pada sebagian kecil orang, atau yang membuat perbuatan tersebut. Berlaku benar, misalnya menjadi utama karena ia menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat dan kita dapat mempercayai orang lain karena orang tersebut menunjukkan sikap yang benar.
Hedonisme model pertama yang individualistic lebih banyak mewarnai masyarakat saat yang bercorak liberal dan kapitalistik. Sementara hedonisme model kedua sosialistik banyak mewarnai masyarakat Eropa yang bercorak Komunis.
Selanjutnya walaupun Epicurus dalam uraiannya di atas lebih mengutamakan kelezatan akal dan rohani daripada kelezatan badan, namun dalam prakteknya saat ini orang lebih banyak mengutamakan kelezatan badan. Munculnya berbagai produk makanan, minuman dengan muatan alkohol yang memabukkan, pakaian, tempat hiburan, film-film dan buku-buku yang berbau seks, pergaulan bebas, dan sarana lainnya jelas lebih diarahkan pada upaya memenuhi kepuasan dan kelezatan hawa nafsu. Dampak dari kehidupan yang hedonistic ini sudah demikian parah, karena semakin dipersubur dan didukung oleh keberhasilan pembangunan bidang material yang kurang seimbang dengan pembangunan bidang spiritual dan moral.

3.         Baik dan Buruk Menurut Paham Intuisisme (Humanisme)
Intuisi adalah kekuatan batin yang dapat menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk dengan sekilas tanpa melihat buah atau akibatnya.[20] Kekuatan batin atau disebut juga sebagai kata hati adalah potensi rohaniah yang secara fitrah telah ada pada diri setiap orang. Paham ini berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai kekuatan insting batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang.[21] Kekuatan batin ini tekadang berbeda refleksinya karena pengaruh masa dan lingkungan, akan tetapi dasarnya ia tetap sama dan berakar pada tubuh manusia. Apabila ia melihat sesuatu perbuatan, ia mendapat semacam ilham yang dapat memberi tahu nilai perbuatan itu, lalu menetapkan hukum baik dan buruknya. Oleh karena itu kebanyakan manusia sepakat mengenai keutamaan seperti benar, dermawan, berani, dan mereka juga sepakat menilai buruk tergadap perbuatan yang salah, kikir dan pengecut.
Kekuatan batin ini adalah kekuatan yang telah ada dalam jiwa manusia, tidak terambil dari keadaan di luarnya. Kita diberikan kemampuan untuk membedakan antara baik dan buruk, sebagaimana kita diberi mata untuk melihat dan diberi telinga untuk mendengar.
Menurut paham ini perbuatan baik adalah perbuatan yang sesuai dengan penilaian yang diberikan oleh hati nurani atau kekuatan batin yang ada dalam dirinya. Dan sebaliknya perbuatan buruk adalah perbuatan yang menurut hati nurani atau kekuatan batin dipandnag buruk. Paham ini selanjutnya dikenal dengan paham humanisme. Poedjawijatna mengatakan bahwa menurut aliran ini yang baik adalah yang sesuai dengan kodrat manusia, yaitu kemanusiaan yang cenderung kepada kebaikan. Penentuan baik buruknya tindakan yang kongkrit adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati orang yang bertindak. Dengan demikian ukuran baik buruk suatu perbuatan menurut paham ini adalah tindakan yang sesuai dengan derajat manusia, dan tidak menentang atau mengurangi keputusan hati.[22] Secara batin setiap orang pasti tidak akan dapat membohongi kata hatinya. Jika suatu ketika seseorang mengatakan sesuatu yang bukan sebenarnya. Hal ini demikian hanya dapat dilakukan atau diterima oleh ucapannya, tetapi kata hatinya tetap tidak mengakui kebohongan itu.
Penentuan baik-buruk perbuatan melalui kata hati yang dibimbing oleh ilham atau intuisi ini banyak dianut dan dikembangkan oleh para pemikir akhlak dari kalangan Islam. Murthada Muthahhari misalnya dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini. Dalam bukunya berjudul Falsafah Akhlak mengatakan bahwa etika adalah tidak emosionalistik seperti dalam falsafah etika Hindu dan Kristen. Juga bukan rasional dan berdasarkan kehendak sebagaimana yang dikatakan Filosof. Tetapi etika adalah ilham-ilham intuisi. Menurutnya kekuatan itu tidak berupa emosi dan rasio. Kekuatan itulah yang mengintruksikan pada manusia agar melakukan berbagai kewajiban dalam hidupnya. Kekuatan itu terletak dalam diri dan batin manusia. Ia mengilhami manusia untuk melakukan suatu perkara ini dan meninggalkan perkara itu. Kekuatan itu tidak ada kaitannya dengan akal.[23] Akal adalah hasil perolehan (iktisaby), sedangkan intuisi adalah fitri dan intrinsic pada batin manusia. Semua manusia memilikinya secara primordial. Instuisi menjadi ilham manusia pada banyak hal dan tindakan akhlak  selalu diilhami oleh instuisi.[24]
Lebih lanjut Muthahhari menilai bahwa paham baik-buruk berdasarkan instuisi ini sebagai sejalan dengan Al-Qur’an. Menurutnya Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia dianugrahi sejumlah ilham fitrah. Untuk menguatkan pendapatnya ini ia mengutip Al-Qur’an Surah Asy-Syams ayat 7-8 yang artinya: Demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka kami ilhamkan kepada jiwa itu mana keburukan dan mana ketakwaan.
Sejalan dengan Muthahhari, Quraish Shihab juga mengatakan kita dapat berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik dan juga sebaliknya. Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut. Quraish Shihab lebih lanjut mengatakan walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia namun ditemukan isyarat-isyarat dalam Al-Qur’an, bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan dan bahwa pada dasarnya manusia cenderung kepada kebajikan.[25]
Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari adanya persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan jika terjadi terdapat pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap konsep moral, yang disebut ma’ruf dalam bahasa Al-Qur’an. Tidak ada perbedaan yang menganggap baik kebohongan, penipuan atau keangkuhan pun tidak ada manusia yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang tua adalah buruk. Tetapi bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu dengan masyarakat pada generasi lainnya. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia akan tetap dinilai baik (ma’ruf).[26]
Dengan mengikuti uraian tersebut, kita dapat berkata bahwa pembentukan baik dan buruk yang berdasarkan pada instuisi ini dapat menghasilkan penentuan baik buruk secara universal atau berlaku pada masyarakat pada umumnya. Hal yang demikian dapat dipahami karena manusia memiliki tempat tinggal, kebangsaan, ras, agama, dan lainnya berbeda tetapi potensi batin atau kata hatinya adalah sama. Perbedaannya akan terjadi hanya pada efektvitas potensi rohani yang ada dalam dirinya. Mereka yang senantiasa membersihkan dirinya dan senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan akan memiliki daya instuisi yang lebih tajam dan menghasilkan penilaian yang positif dan produktif terhadap berbagai masalah yang dihadapinya. Orang yang demikian sering diminta nasihat dan petunjuknya oleh masyarakat yang merasa daya instuisinya belum berfungsi secara optimal.

4.         Baik Buruk Menurut Paham Utilitarianisme
Secara harfiah utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik adalah yang berguna. Jika ukuran ini berlaku bagi perorangan disebut individual, dan jika berlaku bagi masyarakat dan Negara disebut social.[27]
Paham penentuan baik-buruk berdasarkan nilai guna ini mendapatkan perhatian di masa sekarang. Dalam abad sekarang ini, kemajuan dibidang teknik sangat meningkat dan kegunaanlah yang menentukan segala-galanya.[28] Namun demikian paham ini terkadang cenderung eksterm dan melihat kegunaan hanya dari sudut pandang materialistik. Orang tua yang sudah jompo misalnya semakin kurang dihargai, karena secara material tidak ada lagi kegunaannya. Padahal kedua orang tua tetap berguna untuk dimintai nasihat dan doa serta kerelaannya. Selain itu paham ini juga dapat menggunakan apa saja yang dianggap ada gunanya. Untuk memperjuangkan kepentingan politik, misalnya tidak segan-segan menggunakan fitnah, khianat, bohong, tipu muslihat, kekerasan, paksaan, dan lain sebagainya sepanjang semua yang disebutkan itu ada gunanya.
Namun demikian kegunaan dalam arti manfaat yang tidak hanya berhubungan dengan materi melainkan juga dengan yang bersifat rohani bisa diterima. Dan kegunaan bisa juga diterima jika digunakan hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Nabi misalnya menilai bahwa orang yang baik adalah orang yang hanya memberi manfaat pada yang lainnya (HR. Bukhari).
5.         Baik Buruk Menurut Paham Vitalisme
Menurut paham ini yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah dianggap sebagai yang baik. Paham ini lebih lanjut cenderung pada sikap binatang, dan berlaku hukum siapa yang kuat dan menang itulah yang baik.
Paham vitalisme ini pernah dipraktekkan para penguasa di zaman feodalisme terhadap kaum yang lemah dan bodoh. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki ia mengembangkan pola hidup feodalisme, kolonialisme, dictator dan tiranik.[29] Kekuatan dan kekuasaan menjadi lambang dan status social untuk dihormati. Ucapan, perbuatan dan ketetapan yang dikeluarkannya menjadi pegangan bagi masyarakat. Hal ini bisa berlaku mengingat orang-orang yang lemah dan bodoh selalu mengharapkan pertolongan dan bantuannya.
Dalam masyarakat yang sudah maju, dimana ilmu pengetahuan dan keterampilan sudah mulai banyak dimiliki oleh masyarakat, paham vitalisme tidak akan mendapat tempat lagi, dan digeser dengan pandangan yang bersifat demokratis.

6.         Baik Buruk Menurut Paham Reliogiosisme
Menurut paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam paham ini keyakinan Teologis, yakni keimanan kepada Tuhan sangat memegang peranan penting, karena tidak mungkin orang mau berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan, jika yang bersangkutan tidak beriman kepada-Nya. Menurut Poedjawijatna, aliran ini dianggap yang paling baik dalam praktek. Namun terdapat pula keberatan terhadap aliran ini yaitu karena tidak keumuman dari ukuran baik dan buruk yang digunakannya.
Diketahui bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam agama dan masing-masing agama menentukan baik dan buruk menurut ukuran masing-masing. Agama Hindu, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam misalnya masing-masing memiliki pandangan dan tolak ukur tentang baik dan buruk yang satu dan lainnya berbeda-beda. Poedjawijatna mengatakan bahwa pedoman itu tdak sama, malahan disana-sini tampak bertentangan misalnya poligami, talak dan rujuk, aturan makan dan minum, hubungan suami istri dan sebagainya.
Di atas telah kami ajukan berbagai aliran Etika dan itu berjumlah semuanya. Kami majukan beberapa saja untuk menyatakan dengan jelas bahwa soal baik-buruknya dalam tingkah laku manusia itu telah lama menjadi bahan renungan para ahli piker dan bahwa penyelesaiannya berhubungan erat dengan pandangan tentang manusia. Sebab yang menjadi objek penelaahan itu tidak lain daripada tindakan manusia.

7.         Baik Buruk Menurut Paham Evolusi (Evolution)
Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kepada kesempurnaannya. Pendpat seperti ini bukan hanya berlaku pada benda-benda yang tampak seperti binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga berlaku pada benda yang tidak dapat dilihat atau diraba oleh indera seperti akhlak dan moral.
Harbert Spencer (1820-1903) salah seorang ahli filsafat Inggris yang berpendapat evousi ini mengatakan bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh secara sederhana, kemudian berangsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan kearah cita-cita yang dianggap sebagai tujuan. Perbuatan itu baik bila dekat dengan cita-cita itu dan buruk bila jauh daripadanya. Sedangkan tujuan manusia dalam hidup ini ialah mencapai cita-cita atau paling tidak mendekatinya sedikit mungkin.
Cita-cita manusia dalam hidup ini menurut paham ini adalah untuk mencapai kesenangan dan kebahagiaan. Kebahagiaan di sini berkembang menurut keadaan yang mengelilinginya. Dapat dilihat bahwa perbuatan manusia terkadang sesuai dengan keadaan disekelilingnya, sehingga demikian sampailah ia kepada kesempurnaan atau kebahagiaan yang menjadi tujuannya.
Tampak bahwa Spencer menjadikan ukuran perbuatan manusia itu ialah mengubah diri sesuai dengan keadaan yang mengelilinginya. Suatu perbuatan dikatakan baik bila menghasilkan lezat dan bahagia dan ini bisa terjadi bila cocok dengan keadaan disekelilingnya.
Dalam sejarah paham evolusi, Darwin (1809-1882) adalah seorang ahli pengetahuan yang paling banyak mengemukakan teorinya. Dia memberikan penjelasan tentang paham ini dalam bukunya The Origin of Species. Dikatakan bahwa perkembangan alam ini didasari oleh ketentuan-ketentuan berikut:
a.         Ketentuan alam (selection of nature)
b.         Perjuangan hidup (struggle for life)
c.         Kekal bagi yang lebih pantas (survival for the fit test)
Yang dimaksud dengan ketentuan alam ialah bahwa alam ini menyaring segala yang maujud (ada) mana yang pantas dan bertahan akan terus hidup, dan mana yang tidak pantas dan lemah tidak akan bertahan hidup.
Berdasarkan ciri-ciri hukum alam yang terus berkembang ini dipergunakan untuk menentukan baik dan buruk. Namun ikut sertanya berubah dan berkembangnya ketentuan baik buruk sesuai dengan perkembangan alam ini akan berakibat menyesatkan, karena ada yang dikembangkan itu boleh jadi tidak sesuai dengan norma yang berlaku secara umum dan telah diakui sebenarnya.

C.      Sifat dari Baik dan Buruk
Sifat dan corak baik-buruk yang didasarkan pada pandangan filsafat adalah sesuai dengan sifat dari filsafat itu sendiri, yakni berubah, relative nisbi dan tidak universal. Dengan demikian sifat baik dan buruk yang dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat tersebut menjadi relatiff, yakni baik dan buruk yang dapat terus berubah. Sifat baik-buruk yang dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut sifatnya subyektif, lokal dan temporal. Dan oleh karenanya nilai baik dan buruk itu sifatnya relatif.
Untuk itu, perlu ada sesuatu ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada nilai-nilai yang universal. Uraian tersebut di atas sebagian ada yang menunjukkan keuniversalan, yaitu penentuan baik dan buruk yang didasarkan pada pandangan intuisisme sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun demikian bagaimanapun intuisi itu tetap saja tidak mutlak wahyu yang datang dari Allah SWT.
Sifat dari baik dan buruk yang demikian itu tetap berguna sesuai zamannya, dan ini dapat dimanfaatkan untuk menjabarkan ketentuan baik-buruk yang terdapat dalam ajaran akhlak yang bersumber dari ajaran Islam sebagaimana akan diuraikan di pembahasan selanjutnya.

D.      Ukuran Baik dan Buruk Menurut Ajaran Islam
Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah AWT., Al-Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadis Nabi Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu.
Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadis. Jika kita perhatikan Al-Qur’an maupun hadis dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang mengacu kepada yang baik misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, azizah dan al-birr.
Al-hasanah sebagaimana dikemukakan oleh Al-Raghib al-Asfahani adalah sesuatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Al-hasanah selanjutnya dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama hasanah dari segi akal, kedua dari segi hawa nafsu/keinginan dan ketiga hasanah dari segi panca indera.[30] Lawan dari al-hasanah adalah al-sayyiah. Yang termasuk al-hasanah misalnya keuntungan, kelapangan rezeki dan kemenangan. Sedangkan yang termasul al-sayyiah misalnya kesempitan, kelaparan dan keterbelakangan. Pemakaian kata al-hasanah yang demikian itu misalnya kita jumpai pada ayat yang terjemahannya berbunyi:
-          “Ajaklah manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (Q.S. Al-Nahl 16:125)
-          “Barangsiapa yang mendatangkan kebaikan, maka baginya kebaikan.” (Q.S. AL-Qashash 28:84)
Adapun kata al-thayyibah khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada pancaindera dan jiwa, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainaya.[31] Lawannya adalah al-qabihah artinya buruk. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang terjehmahannya berbunyi:
-          “Kami turunkan kepadamu manna dan salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang kami berikan kepadamu.” (Q.S. Al-Baqarah 2:57)
Selanjutnya kata al-khair digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat. Lawannya adalah al-syarr.[32] Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang terjemahannya berbunyi:
-          “Barangsiapa yang melakukan sesuatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah 2:158)
Adapun kata al-mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah SWT.[33] Dengan demikian kata al-mahmudah lebih menunjukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual. Hal ini misalnya dinyatakan dalam ayat yang terjemahannya berbunyi:
-          “Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji.” (Q.S. Al-Isra’ 17:79)
Selanjutnya kata al-karimah digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari.[34] Selanjutnya kata ­Al-karimah ini biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang skalanya terbesar, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman yang terjemahnnya berbunyi:
-          “Dan janganlah kamu mengucapkan kata uf-cis kepada kedua orang tua, dan janganlah membentaknya, dan ucapkan pada keduanya ucapan yang mulia.” (Q.S. Al-Isra’ 17:23)
Adapun kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut terkadang digunakan sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan jika kata untuk manusia maka yang dimaksud adalah ketaatannya.[35] Misalnya terlihat pada ayat yang terjemahannya berbunyi:
-          “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaikan, akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah kebaikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.” (Q.S. Al-Baqarah 2:177)
Selanjutnya tentang al-birr ini dijelaskan bahwa seoramg sahabat Nabi SAW. Bernama Wabishah bin Ma’bad berkunjung kepada Nabi SAW., lalu beliau menyapanya dengan sabda:
Engkau datang menanyakan tentang al-birr (kebaikan)? “Benar wahai Rasul” Jawab Wabishah. “Tanyailah hatimu!” Al-birr (kebaikan) adalah sesuatu tentang terhadap jiwa, dan tenteram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa.  (HR. Ahmad dan Ad-Darimi)
Dalam hadisnya yang lain Nabi menjelaskan al-birr dengan sabdanya”
Al-birr (kebaikan) ialah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang beredar di hatimu yang kamu tidak suka orang lain mengetahuinya.” (HR. Ahmad)
Dalam hadis-hadis tersebut kata al-birr dihubungkan dengan ketenangan jiwa dan akhlak yang baik dan merupakan lawan dari dosa. Ini menunjukkan bahwa al-birr dekat artinya dengan akhlak yang mulia, atau al-birr ini termasuk salah satu akhlak yang mulia.
Adanya berbagai istilah kebaikan yang demikian variatif yang diberikan Al-Qur’an dan Hadis itu menunjukkan bahwa penjelasan tentang sesuatu yang baik menurut ajaran Islam jauh lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan dengan arti kebaikan yang dikemukakan sebelumnya. Berbagai istilah yang mengacu kepada kebaikan itu menunjukkan bahwa kebaikan dalam pandangan Islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan di akhirat serta akhlak yang mulia.
Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu Islam memberikan tolak ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapat keridahan Allah SWT yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas. Perbuatan akhlak dalam Islam baru dikatakan baik apabila perbuatan yang dilakukan dengan sebenarnya dan dnegan kehendak sendiri itu dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah SWT. Untuk itu peranan niat yang ikhlas sangat penting.
Berdasarkan petunjuk tersebut, maka penentuan baik dan buruk dalam Islam tidak semata-mata ditentukan berdasarkan amal perbuatan yang nyata saja, tetapi lebih dari itu adalah niatnya. Hal ini dinyatakan oleh Ahmad Amin dengan mengatakan bahwa hukum akhlak ialah memberi nilai suatu perbuatan bahwa ia baik atau buruk menurut niatnya.[36]
Selanjutnya dalam menentukan perbuatan yang baik dan buruk itu, Islam memperhatikan kriteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan perbuatan tersebut. seorang yang berniat baik, tapi dalam melakukannya menempuh cara yang salah, maka perbuatan tersebut dipandang tercela. Orang tua yang memukul anaknya hingga cacat seumur hidup tetap dinilai buruk, sungguhpun niatnya agar anak tersebut menjadi baik. Demikian pula seorang yang mengeluarkan sedekah dianggap baik menurut agama, tetapi jika cara memberikan sedekah tersebut dapat menyakitkan hati si penerima, maka perbuatan tersebut dinilai tidak baik.
Selain itu perbuatan yang dianggap baik dalam Islam juga adalah perbuatan yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tersebut. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berbakti kepada orang tua, saling menolong dan mendoakan dalam kebaikan, menepati janji, menyanyangi anak yatim, jujur, amanah, sabar, ridla, ikhlas adalah perbuatan yang baik karena sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an. Sebaliknya sikap membangkan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, durhaka kepada orang tua, saling bertengkar dan dendam, mengingkari janji, tidak peduli dengan nasib anak yatim, curang, khianat, riya, putus asa dan tidak menerima keputusan Tuhan adalah perbuatan yang buruk karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Namun demikian, al-Qr’an dan al-Sunnah bukanlah sumber ajaran yang eksklusif atau tertutup. Kedua sumber tersebut bersikap terbuka untuk menghargai bahkan menampung pendapat akal dan pikiran, adat-istiadat dan sebagainya yang dibuat oleh manusia, dengan catatan semuanya itu tetap sejalan dengan petunjuk a-Qur’an dan al-Sunnah. Ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada logika dan filsafat dengan berbagai alirannya sebagaimana disebutkan di atas, dan tertampung dalam istila etika, atau ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada istilah adat-istiadat tetap dihargai dan diakui keberadaannya. Ketentuan baik dan buruk yang terdapat dalam etika dan moral dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk menjabarkan ketentuan baik dan buruk yang ada dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an misalnya menyuruh berbuat baik kepada kedua orang tua, tapi cara berbuat baik kepada kedua orang tua dalam al-Qur’an itu tidak ada penjabarannya. Untuk menjabarkannya bisa digunakan ketentuan dalam etika atau moral. Orang Jawa misalnya berbeda cara menghormati kedua orang tuanya dengan orang Sunda, Bali, Sumatera dan seterusnya. Namun demikian perbedaan itu masih berada dalam tema menghormati kedua orang tua, dan ini berarti tidak keluar dari kerangka Islami.
Demikian pula cara menghormati tetangga, cara menempati janji, cara berbuat baik kepada anak yatim piatu dan sebagainya memerlukan bantuan penjabaran dari hasil daya Ijtihad akal dan budaya manusia. Di sinilah letak sifat baik-buruk ajaran Islam yaitu dari satu segi mengandung universal dan mutlak yang tidak dapat berubah, sedangkan pada segi lain dapat berubah sebagaimana yang diberikan oleh etika dan moral. Dengan demikian keuniversalan ketentuan baik buruk dalam ajaran Islam tetap sejalan dengan kekhususan yang terdapat pada nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat.
                                                                    

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Baik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan luhur, bermartabat, meneyenangkan, disukai manusia dan memiliki tujuan yang baik. Sedangkan buruk adalah segala sesuatu yang berhubunagn dengan sesuatu yang rendah, hina, menyusahkan, dibenci manusia dan tidak mempunyai tujuan yang baik.
Ukuran baik dan buruk dalam ilmu akhlak adalah adat istiadat, nurani, rasio, pandangan individu dan norma agama. Aliran-aliran baik buruk pada masa itu antara lain aliran Hedonisme, Sosialisme, Humanisme, Utilitarisme, Vitalisme, Religiosisme, Evolution.
Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu, Islam memberikan tolak ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapat keridahan Allah SWT yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas. Perbuatan akhlak dalam Islam baru dikatakan baik apabila perbuatan yang dilakukan dengan sebenarnya dan dnegan kehendak sendiri itu dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah SWT. Untuk itu peranan niat yang ikhlas sangat penting.
Berdasarkan petunjuk tersebut, maka penentuan baik dan buruk dalam Islam tidak semata-mata ditentukan berdasarkan amal perbuatan yang nyata saja, tetapi lebih dari itu adalah niatnya
perbuatan yang dianggap baik dalam Islam juga adalah perbuatan yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tersebut. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berbakti kepada orang tua, saling menolong dan mendoakan dalam kebaikan, menepati janji, menyanyangi anak yatim, jujur, amanah, sabar, ridla, ikhlas adalah perbuatan yang baik karena sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an. Sebaliknya sikap membangkan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, durhaka kepada orang tua, saling bertengkar dan dendam, mengingkari janji, tidak peduli dengan nasib anak yatim, curang, khianat, riya, putus asa dan tidak menerima keputusan Tuhan adalah perbuatan yang buruk karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

 DAFTAR PUSTAKA
Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2003.
Santalia Indo, Akhlak Tasawuf, Makassar: Alauddin Perss, 2011.
As Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.













[1] Louis Ma’ful, Munjid, (Beirut: al-Maktabah al-Katulikiyah, t.t), hlm.198.
[2] Webster’s New Twentieth Century Dictionary, hlm.789.
[3] Hombay dkk, The Advance Leaner’s Dictionary of Current English, (London: Oxford University Press,1973), hlm.430.
[4] Webster’s World University Dictionary, hlm.401
[5] Ensiklopedia Indonesia, Bagian I, hlm.362.
[6] Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers,1990), cet.II,hlm.81.
[7] Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada:1996), cet.I,hlm.104.
[8] New Twentieth Century Dictionary of English Language, hlm.63; Esiklopedia Indonesia, hlm.557; Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, hlm.26.
[9] Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta: Bina Aksara,1982), cet.Iv,hlm.43-44.
[10] Ibid., hlm.44-49.
[11] Asmaran As, op. cit., hlm.27-31.
[12] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (terj.) K.H. Farid Ma’ruf, dari judul asli, Al-Akhlaq, (Jakarta: Bulan Bintang,1983), cet.III,hlm.87.
[13] Ahmad Amin, op.cit., hlm.87.
[14] I.R. Poedjawijatna, op.cit., hlm.47.
[15] Ibid., hlm.47.
[16] Ahmad Amin, loc. cit., hlm.92: Poedjawijatna, loc. Cit., hlm.44.
[17] Ahmad Amin, op. cit., hlm.92.
[18] Ibid., hlm.90.
[19] Ibid., hlm.96.
[20] Asmaran As, op. cit., hlm.30.
[21] Ahmad Amin, loc. cit., hlm.105.
[22] Poedjawijatna, op. cit., hlm.49.
[23] Murthada Muthahhari, Falsafah Akhlak, (Bandung: Pustaka Hidayah,1995),cet.I,hlm.83.
[24] Ibid., hlm.83.
[25] M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,1996),cet.I,hlm.254.
[26] Ibid., hlm.255.
[27] Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada:1996), cet.I,hlm.114.
[28] Poedjawijatna, op. cit., hlm.45.
[29] Poedjawijatna, op. cit., hlm.46.
[30] Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat al-Fadz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Firl, t.t),hlm.117.
[31] Ibid., hml.321.
[32] Ibid., hlm.163.
[33] Ibid., hlm.163.
[34] Ibid., hlm.446.
[35] Ibid., hlm.37.
[36] Ahmad Amin, op. cit., hlm.137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar