AKIDAH AKHLAK
BAIK DAN BURUK DALAM PANDANGAN ISLAM

LAPORAN
HASIL MAKALAH
DOSEN PEMBIMBING :
ANDI ADERUS
OLEH :
Utami
Istianah
(50500116104)
JURNALISTIK
C
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2017/2018
Kata
Pengantar
Alhamdulillah, puji syukur
kami ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas Makalah dengan judul “Baik dan Buruk dalam Pandangan Islam”.
Sholawat teriring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda
Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman
yang terang benderang.
Tujuan dibuatnya makalah ini diharapkan agar dijadikan sebagai wawasan kita
terhadap mata kuliah “Akidah Akhlak” sesuai dengan tema yang kami angkat. Kami telah berusaha demi keberhasilan dan kesempurnaan makalah ini. Namun, kami
merasa masih terlalu banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon kritikan
dan saran yang membangun baik dari dosen pembimbing maupun dari rekan-rekan
mahasiswa.
Tidak lupa penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua ppihak
yang telah membantu dalam penyelesaian Makalah ini, semoga dengan apa yang ada
dalam Makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amiin ...
Samata, 11 Mei 2017
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul.......................................................................................................... i
Kata
Pengantar......................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................. ii
Bab
I Pendahuluan................................................................................................... 1
A. Latar
Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah........................................................................................ 2
C. Tujuan
Penelitian.......................................................................................... 2
D. Manfaat
Penelitian....................................................................................... 2
Bab
II Kajian Teori.................................................................................................. 3
A. Pengertian Baik dan Buruk
......................................................................... 3
B. Ukuran-ukuran Baik dan Buruk Sepanjang Pemikiran
Sejarah Manusia .... 4
C. Sifat dari Baik dan Buruk
......................................................................... 15
D. Ukuran Baik dan Buruk Menurut Ajaran Islam
........................................ 16
Bab
III Penutup..................................................................................................... 22
Kesimpulan........................................................................................................ 22
Daftar
Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Setiap perbuatan manusia itu ada yang baik dan ada
yang buruk. Hati manusia memiliki perasaan dan dapat mengenal perbuatan itu
baik atau buruk dan benar atau salah. Baik dan Buruk merupakan dua istilah yang
banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang.
Ada pendapat mengatakan bahwa setiap manusia memiliki kekuatan
insting yang berfungsi bagi manusia untuk membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Kekuatan ini terkadang berbeda sedikit karena perbedaan masa,
tetapi tetap berakar pada setiap manusia. Maka setiap manusia memiliki semacam
ilham yang dapat mengenal nilai sesuatu akan baik dan buruknya.
Akhlak berasal dari bahasa Arab jama’ dari bentuk
mufradnya “Khuluqun” yang berarti: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan
“Khalqun” yang berarti: kejadian, serta erat hubungannya dengan “Khaliq” yang
berarti: pencipta, dan “Makhluq” yang berarti: yang diciptakan.
Dalam persoalan ini kita
masukkan ke dalam pembahasan makalah karena perbuatan baik dan buruk berkaitan dengan
pembahasan tentang Akhlak, yang antara lain dikatakan bahwa ilmu akhlak ini
membahas tentang tingkah laku dan perbuatan manusia.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa yang disebut dengan baik dan buruk?
2. Bagaimana ukuran-ukuran baik dan buruk sepanjang
sejarah pemikiran manusia?
3. Bagaimanakah sifat dari baik dan buruk?
4. Bagaimanakah ukuran baik dan buruk menurut ajaran
Islam?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1. Mengetahui
apa itu baik dan buruk.
2. Mengetahui ukuran-ukuran baik dan buruk sepanjang
sejarah pemikiran manusia.
3. Mengetahui sifat baik dan buruk.
4. Mengetahui ukuran baik dan buruk menurut ajaran Islam.
D.
MANFAAT
PENULISAN
Penulisan
makalah ini dilakukan dengan metode studi, dengan mengambil beberapa
sumber-sumber lain dari berbagai
buku yang sesuai dengan judul materi “baik dan
buruk dalam pandangan islam”.
Berhubungan
dengan judul makalah ini mengambil sumber dari berbagai buku sebegai bahan refensi atau
penambahan materi sebagai pelengkap dalam makalah ini guna menambah ilmu dalam
mata kuliah “Akidah Akhlak”
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A. Pengertian Baik dan Buruk
Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good
dalam bahasa Inggris. Lous Ma’luf dalam
kitabnya Munjid mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah
mencapai kesempurnaan.[1]
Sementara itu dalam Webster’s New
Twentieth Century Dictionary mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu
yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian dan
seterusnya.[2]
Selanjutnya yang baik itu juga merupakan sesuatu
yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan yang memberi kepuasan.[3]
Yang baik itu dapat juga berarti sesuatu
yang sesuai dengan keinginan.[4]
Dan yang disebut baik dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang mendatangkan Rahmat, memberikan perasaan yang senang atau
bahagia.[5] Dan
ada pula pendapat yang mengatakan bahwa secara
umum yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang
diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik, jika
tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan disebut nilai
(value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang kongkret.[6]
Beberapa kutipan tersebut di atas menggambarkan bahwa yang disebut baik
atau kebaikan adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia.[7]
Definisi kebaikan tersebut terkesan anthropocentris,
yakni memusat dan bertolak dari sesuatu yang menguntungkan dan membahagiakan
manusia. Pengrtian baik yang demikian tidak ada salahnya karena secarah fitrah
manusia memang menyukai hal-hal yang menyenangkan dan membahagiakan dirinya.
Kesempurnaan, keharuan, kepuasan, kesenangan, kesesuaian, kebenaran, kesesuaian
dengan keinginan, mendatangkan rahmat, memberikan perasaan yang senang dan
bahagia yang sejalan dengan itu adalah merupakan sesuatu yang dicari dan
diusahakan manusia, karena semuanya itu dianggap sebagai yang baik atau
mendatangkan kebaikan bagi dirinya.
Mengetahui sesuatu yang baik sebagaimana disebutkan di atas akan
mempermudah dalam mengetahui yang buruk. Dalam bahasa Arab, yang buruk itu
dikenal dengan istilah syarr, dan
diartikan sebagai sesuatu yang tidak
baik, yang tidak seperti yang seharusnya, tidak sempurna dalam kualitas, di
bawah standar, kurang dalam nilai, tidak mencukupi, keji, jahat, tidak dapat
diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang
bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.[8]
Dengan demikian yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang dinilai sebaliknya
dari yang baik, dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia.
Beberapa definisi tersebut memberi kesan bahwa sesuatu yang disebut baik atau
buruk itu relatif sekali, karena bergantung pada pandangan dan penilaian
masing-masing yang merumuskannya. Dengan demikian nilai baik atau buruk menurut
pengertian tersebut bersifat subyektif, karena bergantung kepada individu yang
menilainya.
B. Ukuran-ukuran
Baik dan Buruk Sepanjang Sejarah Pemikiran Manusia
Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, berkembang pula patokan yang
digunakan orang dalam menentukan baik dan buruk. Keadaan ini menurut Poedjawijatna berhubungan rapat dengan
pandangan filsafat tentang manusia (antropologia metafisika) dan ini tergantung
pula dari metafisika pada umumnya.[9]
Poedjawijatna lebih lanjut menyebutkan sejumlah
pandangan filsafat yang digunakan dalam menilai baik dan buruk, yaitu
Hedonisme, Utilitarianisme, Vitalisme, Sosialisme, Religiosisme dan Humanisme.[10]
Sementara itu Asmaran As, menyebutkan sebanyak
empat aliran filsafat, yaitu Adat kebiasaan, Hedonisme, Intuisi dan Evolusi.[11]
Pembagian yang dikemukakan Asmaran As ini tampak sejalan dengan pendapat Ahmad
Amin yang membagi aliran filsafat yang
mempengaruhi penentuan baik dan buruk itu menjadi empat, yaitu Adat-istiadat,
Hedonisme, Utilitarianisme dan Evolusi.[12]
Beberapa kutipan tersebut di atas tampak saling melengkapi dan dapat
disimpulkan bahwa di antara aliran-aliran filsafat yang mempengaruhi dalam
penentuan baik dan buruk ini adalah aliran adat-istiadat (sosialisme),
hedonisme, intuisisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme, religiousisme,
dan evolusisme. Dengan merujuk kepada berbagai kutipan tersebut di atas
beberapa aliran filsafat yang mempengaruhi pemikiran akhlak tersebut dapat
dikemukakan secara ringkas sebagai berikut :
1.
Baik Buruk Menurut Aliran
Adat-Istiadat (Sosialisme)
Menurut aliran ini baik atau buruk ditentukan berdasarkan adat-istiadat
yang berlaku dan ditentukan berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dan dipegang
teguh oleh masayarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat
dipandang baik, dan orang yang menentang dan tidak mengikuti adat-istiadat
dipandang buruk, dan kalau perlu dihukum secara adat.
Adat-istiadat selanjutnya disebut pula sebagai pendapat umum. Ahmad Amin
mengatakan bahwa setiap bangsa mempunyai
adat-istiadat yang tertentu dan menganggap baik bila mengikutinya, mendidik
anak-anak sesuai dengan adat-istiadat itu, dan menanamkan perasaan kepada
mereka bahwa adat-istiadat itu akan membawa kepada kesucian, sehingga apabila
seseorang menyalahi adat-istiadat itu sangat dicela dan dianggap keluar dari
golongan bangsanya.[13]
Di dalam masyarakat kita jumpai adat-istiadat yang berkenamaan dengan cara
berpakaian, makan, minum, bercakap-cakap dan sebagainya. Orang yang mengikuti
cara-cara yang demikian itulah yang dianggap orang yang baik, dan orang yang
menyalahinya adalah orang yang buruk.
Kelompok yang menilai baik dan buruk berdasarkan adat-istiadat ini dalam
tinjauan filsafat dikenal dengan istilah aliran sosialisme. Munculnya paham ini
bertolak dari anggapan karena masyarakat itu terdiri dari manusia, maka akan ada
yang berpendapat bahwa masyarakatlah yang
menentukan baik buruknya tindakan manusia yang menjadi anggotanya. Lebih jelas
lagi apa yang lazim dianggap baik oleh masyarakat tertentu, itulah yang baik.
Inilah yang kami sebut ukuran sosialistis dalam etika.[14]
Poedjawijatna lebih lanjut mengatakan: “harus
diakui, bahwa aliran ini banyak mengandung kebenaran, hanya secara ilmiah
kurang memuaskan, karena tidak umum. Kerapkali suatu adat kebiasaan dalam suatu
masyarakat dianggap baik, sedangkan dalam masyarakat lain dianggap tidak baik.
Adat-istiadat Timur dan Barat misalnya berbeda. Kita tidak punya hak untuk
menghukum adat yang ini buruk dan yang itu buruk, tetapi yang dapat dikatakan
adalah bahwa adat-istiadat itu sukar dijadikan ukuran umum, karena tidak
umumnya itu”.[15] Hal ini bisa dimaklumi karena adat-istiadat
pada hakikatnya produk budaya manusia yang sifatnya relatif. Namun demikian
keberadaan paham adat-istiadat ini menunjukkan eksistensi dan peran moral dalam
masyarakat, mengingat apa yang dikatakan moral sebagaimana diutarakan pada
bagian terdahulu bersumber pada adat-istiadat.
2.
Baik Buruk Menurut Aliran
Hedonisme
Aliran Hedonisme adalah aliran
filsafat yang terhitung tua, karena berakar pada pemikiran filsafat Yunani,
khususnya pemikiran filsafat Epicurus (341-270 SM), yang selanjutnya dikembangkan
oleh Cyrenics sebagaimana telah diuraikan di atas dan belakangnya
ditumbuh-kembangkan oleh Freud.[16]
Menurut paham ini banyak yang disebut perbuatan yang baik adalah perbuatan
yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan nafsu biologis.
Aliran ini tidak mengatakan bahwa semua
perbuatan mengandung kelezatan, melainkan ada pula yang mendatangkan kepedihan,
dan apabila ia disuruh memilih manakah perbuatan yang harus dilakukan, maka
yang dilakukan adalah yang mendatangkan kelezatan. Epicurus sebagai peletak
dasar paham ini mengatakan bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu adalah tujuan
manusia. Tidak ada kebaikan dalam hidup selain kelezatan dan tidak ada
keburukan kecuali penderitaan. Dan akhlak itu tidak lain adalah berbuat untuk menghasilkan
kelezatan dan kebahagiaan serta keutamaan. Keutamaan itu tidak mempunyai nilai
tersendiri, tetapi nilainya terletak pada kelezatan yang menyertainya.[17]
Namun demikian Epicurus lebih mementingkan kelezatan akal dan rohani
dibandingkan kelezatan badan, karena badan itu terasa dengan lezat dan derita
selama adanya kelezatan dan penderitaan itu saja, dan badan itu tidak dapat
mengenangkan kelezatan yang telah lalu dan tidak dapat merencanakan kelezatan
yang akan datang. Yang dapat merancang
dan merencanakan kelezatan itu adalah akal dan rohani. Oleh karena itu
kelezatan akal dan rohani lebih lama dan lebih kekal dibandingkan kelezatan
badan.[18] Dengan demikian, pandangan Aliran
Hedonisme tentang kelezatan ini sifatnya masih bercorak ilmiah dan intelektualistik.
Pada tahap selanjutnya paham Hedonisme ini ada yang bercorak individual dan
universal. Corak pertama berpendapat
bahwa yang dipentingkan terlebih dahulu adalah mencari sebesar-besarnya
kelezatan dan kepuasan untuk diri sendiri, dan segenap daya upaya harus
diarahkan pada upaya mencari kebahagiaan dan kelezatan yang bercorak
individualistic itu. Selanjutnya corak kedua (Universalistis Hedonisme)
memandang bahwa perbuatan yang baik itu adalah yang mengutamakan mencari
kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sesama manusia, bahkan segala makhluk
yang berperasaan.[19] Karena kesenangan yang dikehendaki oleh
pengikut paham ini bukan kenikmatan bagi orang per orang saja, tetapi untuk
semua orang. Maka bagi setiap yang melakukan perbuatan perlu mempertimbangkan
jangan sampai berat sebelah kepada dirinya, tetapi sedapat mungkin ia harus
menjadikan sama antara kenikmatan yang dirasakan dirinya dan dirasakan orang
lain.
Sejalan dengan itu maka perbuatan yang dianggap utama dan baik apabila
perbuatan itu menghasilakn kebahagiaan bersama, dan sedikit menyedihkan pada
sebagian kecil orang, atau yang membuat perbuatan tersebut. Berlaku benar,
misalnya menjadi utama karena ia menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat dan
kita dapat mempercayai orang lain karena orang tersebut menunjukkan sikap yang
benar.
Hedonisme model pertama yang individualistic lebih banyak mewarnai
masyarakat saat yang bercorak liberal dan kapitalistik. Sementara hedonisme
model kedua sosialistik banyak mewarnai masyarakat Eropa yang bercorak Komunis.
Selanjutnya walaupun Epicurus dalam uraiannya di atas lebih mengutamakan
kelezatan akal dan rohani daripada kelezatan badan, namun dalam prakteknya saat
ini orang lebih banyak mengutamakan kelezatan badan. Munculnya berbagai produk
makanan, minuman dengan muatan alkohol yang memabukkan, pakaian, tempat
hiburan, film-film dan buku-buku yang berbau seks, pergaulan bebas, dan sarana
lainnya jelas lebih diarahkan pada upaya memenuhi kepuasan dan kelezatan hawa
nafsu. Dampak dari kehidupan yang hedonistic ini sudah demikian parah, karena
semakin dipersubur dan didukung oleh keberhasilan pembangunan bidang material
yang kurang seimbang dengan pembangunan bidang spiritual dan moral.
3.
Baik dan Buruk Menurut Paham
Intuisisme (Humanisme)
Intuisi adalah kekuatan batin yang
dapat menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk dengan sekilas tanpa melihat
buah atau akibatnya.[20]
Kekuatan batin atau disebut juga sebagai kata hati adalah potensi rohaniah yang
secara fitrah telah ada pada diri setiap orang. Paham ini berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai kekuatan insting
batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang.[21]
Kekuatan batin ini tekadang berbeda refleksinya karena pengaruh masa dan
lingkungan, akan tetapi dasarnya ia tetap sama dan berakar pada tubuh manusia.
Apabila ia melihat sesuatu perbuatan, ia mendapat semacam ilham yang dapat
memberi tahu nilai perbuatan itu, lalu menetapkan hukum baik dan buruknya. Oleh
karena itu kebanyakan manusia sepakat mengenai keutamaan seperti benar, dermawan,
berani, dan mereka juga sepakat menilai buruk tergadap perbuatan yang salah,
kikir dan pengecut.
Kekuatan batin ini adalah kekuatan yang telah ada dalam jiwa manusia, tidak
terambil dari keadaan di luarnya. Kita diberikan kemampuan untuk membedakan antara
baik dan buruk, sebagaimana kita diberi mata untuk melihat dan diberi telinga
untuk mendengar.
Menurut paham ini perbuatan baik adalah perbuatan yang sesuai dengan
penilaian yang diberikan oleh hati nurani atau kekuatan batin yang ada dalam
dirinya. Dan sebaliknya perbuatan buruk adalah perbuatan yang menurut hati
nurani atau kekuatan batin dipandnag buruk. Paham ini selanjutnya dikenal
dengan paham humanisme. Poedjawijatna mengatakan bahwa menurut aliran ini yang
baik adalah yang sesuai dengan kodrat manusia, yaitu kemanusiaan yang cenderung
kepada kebaikan. Penentuan baik buruknya tindakan yang kongkrit adalah
perbuatan yang sesuai dengan kata hati orang yang bertindak. Dengan demikian ukuran baik buruk suatu perbuatan menurut
paham ini adalah tindakan yang sesuai dengan derajat manusia, dan tidak
menentang atau mengurangi keputusan hati.[22] Secara batin setiap orang pasti tidak
akan dapat membohongi kata hatinya. Jika suatu ketika seseorang mengatakan
sesuatu yang bukan sebenarnya. Hal ini demikian hanya dapat dilakukan atau
diterima oleh ucapannya, tetapi kata hatinya tetap tidak mengakui kebohongan
itu.
Penentuan baik-buruk perbuatan melalui kata hati yang dibimbing oleh ilham
atau intuisi ini banyak dianut dan dikembangkan oleh para pemikir akhlak dari
kalangan Islam. Murthada Muthahhari misalnya dapat dimasukkan ke dalam kelompok
ini. Dalam bukunya berjudul Falsafah Akhlak mengatakan bahwa etika adalah tidak emosionalistik seperti
dalam falsafah etika Hindu dan Kristen. Juga bukan rasional dan berdasarkan
kehendak sebagaimana yang dikatakan Filosof. Tetapi etika adalah ilham-ilham
intuisi. Menurutnya kekuatan itu tidak berupa emosi dan rasio. Kekuatan itulah
yang mengintruksikan pada manusia agar melakukan berbagai kewajiban dalam
hidupnya. Kekuatan itu terletak dalam diri dan batin manusia. Ia mengilhami
manusia untuk melakukan suatu perkara ini dan meninggalkan perkara itu.
Kekuatan itu tidak ada kaitannya dengan akal.[23]
Akal adalah hasil perolehan (iktisaby),
sedangkan intuisi adalah fitri dan intrinsic pada batin manusia. Semua manusia
memilikinya secara primordial. Instuisi menjadi ilham manusia pada banyak hal
dan tindakan akhlak selalu diilhami oleh
instuisi.[24]
Lebih lanjut Muthahhari menilai bahwa paham baik-buruk berdasarkan instuisi
ini sebagai sejalan dengan Al-Qur’an. Menurutnya Al-Qur’an menyatakan bahwa
manusia dianugrahi sejumlah ilham fitrah. Untuk menguatkan pendapatnya ini ia
mengutip Al-Qur’an Surah Asy-Syams ayat 7-8 yang artinya: Demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka kami ilhamkan kepada jiwa itu mana
keburukan dan mana ketakwaan.
Sejalan dengan Muthahhari, Quraish Shihab juga mengatakan kita dapat berkata bahwa secara nyata
terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik
dan juga sebaliknya. Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut.
Quraish Shihab lebih lanjut mengatakan walaupun kedua potensi ini terdapat
dalam diri manusia namun ditemukan isyarat-isyarat dalam Al-Qur’an, bahwa
kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan dan bahwa pada
dasarnya manusia cenderung kepada kebajikan.[25]
Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari adanya persamaan
konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan jika
terjadi terdapat pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna
terhadap konsep moral, yang disebut ma’ruf
dalam bahasa Al-Qur’an. Tidak ada perbedaan
yang menganggap baik kebohongan, penipuan atau keangkuhan pun tidak ada manusia
yang menilai bahwa penghormatan kepada kedua orang tua adalah buruk. Tetapi
bagaimana seharusnya bentuk penghormatan itu? Boleh jadi cara penghormatan
kepada keduanya berbeda-beda antara satu masyarakat pada generasi tertentu
dengan masyarakat pada generasi lainnya. Perbedaan-perbedaan itu selama dinilai
baik oleh masyarakat dan masih dalam kerangka prinsip umum, maka ia akan tetap
dinilai baik (ma’ruf).[26]
Dengan mengikuti uraian tersebut, kita dapat berkata bahwa pembentukan baik
dan buruk yang berdasarkan pada instuisi ini dapat menghasilkan penentuan baik
buruk secara universal atau berlaku pada masyarakat pada umumnya. Hal yang
demikian dapat dipahami karena manusia memiliki tempat tinggal, kebangsaan,
ras, agama, dan lainnya berbeda tetapi potensi batin atau kata hatinya adalah
sama. Perbedaannya akan terjadi hanya pada efektvitas potensi rohani yang ada
dalam dirinya. Mereka yang senantiasa membersihkan dirinya dan senantiasa
mendekatkan diri pada Tuhan akan memiliki daya instuisi yang lebih tajam dan
menghasilkan penilaian yang positif dan produktif terhadap berbagai masalah
yang dihadapinya. Orang yang demikian sering diminta nasihat dan petunjuknya
oleh masyarakat yang merasa daya instuisinya belum berfungsi secara optimal.
4.
Baik Buruk Menurut Paham
Utilitarianisme
Secara harfiah utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik
adalah yang berguna. Jika ukuran ini berlaku bagi perorangan disebut
individual, dan jika berlaku bagi masyarakat dan Negara disebut social.[27]
Paham penentuan baik-buruk berdasarkan nilai guna ini mendapatkan perhatian
di masa sekarang. Dalam abad sekarang
ini, kemajuan dibidang teknik sangat meningkat dan kegunaanlah yang menentukan
segala-galanya.[28]
Namun demikian paham ini terkadang cenderung eksterm dan melihat kegunaan hanya
dari sudut pandang materialistik. Orang tua yang sudah jompo misalnya semakin
kurang dihargai, karena secara material tidak ada lagi kegunaannya. Padahal
kedua orang tua tetap berguna untuk dimintai nasihat dan doa serta kerelaannya.
Selain itu paham ini juga dapat menggunakan apa saja yang dianggap ada gunanya.
Untuk memperjuangkan kepentingan politik, misalnya tidak segan-segan
menggunakan fitnah, khianat, bohong, tipu muslihat, kekerasan, paksaan, dan
lain sebagainya sepanjang semua yang disebutkan itu ada gunanya.
Namun demikian kegunaan dalam arti manfaat yang tidak hanya berhubungan
dengan materi melainkan juga dengan yang bersifat rohani bisa diterima. Dan
kegunaan bisa juga diterima jika digunakan hal-hal yang tidak menimbulkan
kerugian bagi orang lain. Nabi misalnya menilai bahwa orang yang baik adalah
orang yang hanya memberi manfaat pada yang lainnya (HR. Bukhari).
5.
Baik Buruk Menurut Paham
Vitalisme
Menurut paham ini yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup
manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah dianggap
sebagai yang baik. Paham ini lebih lanjut cenderung pada sikap binatang, dan
berlaku hukum siapa yang kuat dan menang itulah yang baik.
Paham vitalisme ini pernah
dipraktekkan para penguasa di zaman feodalisme terhadap kaum yang lemah dan
bodoh. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki ia mengembangkan pola hidup
feodalisme, kolonialisme, dictator dan tiranik.[29]
Kekuatan dan kekuasaan menjadi lambang dan status social untuk dihormati.
Ucapan, perbuatan dan ketetapan yang dikeluarkannya menjadi pegangan bagi
masyarakat. Hal ini bisa berlaku mengingat orang-orang yang lemah dan bodoh
selalu mengharapkan pertolongan dan bantuannya.
Dalam masyarakat yang sudah maju, dimana ilmu pengetahuan dan keterampilan
sudah mulai banyak dimiliki oleh masyarakat, paham vitalisme tidak akan
mendapat tempat lagi, dan digeser dengan pandangan yang bersifat demokratis.
6.
Baik Buruk Menurut Paham
Reliogiosisme
Menurut paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan
kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai
dengan kehendak Tuhan. Dalam paham ini keyakinan Teologis, yakni keimanan
kepada Tuhan sangat memegang peranan penting, karena tidak mungkin orang mau
berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan, jika yang bersangkutan tidak beriman
kepada-Nya. Menurut Poedjawijatna, aliran ini dianggap yang paling baik dalam
praktek. Namun terdapat pula keberatan terhadap aliran ini yaitu karena tidak
keumuman dari ukuran baik dan buruk yang digunakannya.
Diketahui bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam agama dan
masing-masing agama menentukan baik dan buruk menurut ukuran masing-masing.
Agama Hindu, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam misalnya masing-masing memiliki
pandangan dan tolak ukur tentang baik dan buruk yang satu dan lainnya
berbeda-beda. Poedjawijatna mengatakan bahwa pedoman itu tdak sama, malahan
disana-sini tampak bertentangan misalnya poligami, talak dan rujuk, aturan
makan dan minum, hubungan suami istri dan sebagainya.
Di atas telah kami ajukan berbagai aliran Etika dan itu berjumlah semuanya.
Kami majukan beberapa saja untuk menyatakan dengan jelas bahwa soal
baik-buruknya dalam tingkah laku manusia itu telah lama menjadi bahan renungan
para ahli piker dan bahwa penyelesaiannya berhubungan erat dengan pandangan
tentang manusia. Sebab yang menjadi objek penelaahan itu tidak lain daripada
tindakan manusia.
7.
Baik Buruk Menurut Paham
Evolusi (Evolution)
Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di
alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kepada
kesempurnaannya. Pendpat seperti ini bukan hanya berlaku pada benda-benda yang
tampak seperti binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga berlaku pada
benda yang tidak dapat dilihat atau diraba oleh indera seperti akhlak dan
moral.
Harbert Spencer (1820-1903) salah seorang ahli filsafat Inggris yang
berpendapat evousi ini mengatakan bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh secara
sederhana, kemudian berangsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan kearah
cita-cita yang dianggap sebagai tujuan. Perbuatan itu baik bila dekat dengan
cita-cita itu dan buruk bila jauh daripadanya. Sedangkan tujuan manusia dalam hidup
ini ialah mencapai cita-cita atau paling tidak mendekatinya sedikit mungkin.
Cita-cita manusia dalam hidup ini menurut paham ini adalah untuk mencapai
kesenangan dan kebahagiaan. Kebahagiaan di sini berkembang menurut keadaan yang
mengelilinginya. Dapat dilihat bahwa perbuatan manusia terkadang sesuai dengan
keadaan disekelilingnya, sehingga demikian sampailah ia kepada kesempurnaan
atau kebahagiaan yang menjadi tujuannya.
Tampak bahwa Spencer menjadikan ukuran perbuatan manusia itu ialah mengubah
diri sesuai dengan keadaan yang mengelilinginya. Suatu perbuatan dikatakan baik
bila menghasilkan lezat dan bahagia dan ini bisa terjadi bila cocok dengan
keadaan disekelilingnya.
Dalam sejarah paham evolusi, Darwin (1809-1882) adalah seorang ahli
pengetahuan yang paling banyak mengemukakan teorinya. Dia memberikan penjelasan
tentang paham ini dalam bukunya The
Origin of Species. Dikatakan bahwa perkembangan alam ini didasari oleh
ketentuan-ketentuan berikut:
a.
Ketentuan alam (selection of nature)
b.
Perjuangan hidup (struggle for life)
c.
Kekal bagi yang lebih pantas (survival for the fit test)
Yang dimaksud dengan ketentuan alam ialah bahwa alam ini menyaring segala
yang maujud (ada) mana yang pantas dan bertahan akan terus hidup, dan mana yang
tidak pantas dan lemah tidak akan bertahan hidup.
Berdasarkan ciri-ciri hukum alam yang terus berkembang ini dipergunakan
untuk menentukan baik dan buruk. Namun ikut sertanya berubah dan berkembangnya
ketentuan baik buruk sesuai dengan perkembangan alam ini akan berakibat
menyesatkan, karena ada yang dikembangkan itu boleh jadi tidak sesuai dengan
norma yang berlaku secara umum dan telah diakui sebenarnya.
C. Sifat dari Baik dan Buruk
Sifat dan corak baik-buruk yang didasarkan pada
pandangan filsafat adalah sesuai dengan sifat dari filsafat itu sendiri, yakni
berubah, relative nisbi dan tidak universal. Dengan demikian sifat baik dan
buruk yang dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat tersebut menjadi relatiff,
yakni baik dan buruk yang dapat terus berubah. Sifat baik-buruk yang
dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut sifatnya subyektif, lokal dan
temporal. Dan oleh karenanya nilai baik dan buruk itu sifatnya relatif.
Untuk itu, perlu ada sesuatu ketentuan baik dan
buruk yang didasarkan pada nilai-nilai yang universal. Uraian tersebut di atas
sebagian ada yang menunjukkan keuniversalan, yaitu penentuan baik dan buruk
yang didasarkan pada pandangan intuisisme sebagaimana telah diuraikan di atas.
Namun demikian bagaimanapun intuisi itu tetap saja tidak mutlak wahyu yang datang
dari Allah SWT.
Sifat dari baik dan buruk yang demikian itu
tetap berguna sesuai zamannya, dan ini dapat dimanfaatkan untuk menjabarkan
ketentuan baik-buruk yang terdapat dalam ajaran akhlak yang bersumber dari
ajaran Islam sebagaimana akan diuraikan di pembahasan selanjutnya.
D. Ukuran Baik
dan Buruk Menurut Ajaran Islam
Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu
Allah AWT., Al-Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadis Nabi
Muhammad SAW. Masalah akhlak dalam ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang
begitu besar sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu.
Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus
didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadis. Jika kita perhatikan Al-Qur’an
maupun hadis dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada yang buruk.
Diantara istilah yang mengacu kepada yang baik misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, azizah dan al-birr.
Al-hasanah sebagaimana dikemukakan oleh Al-Raghib
al-Asfahani adalah sesuatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu
yang disukai atau dipandang baik. Al-hasanah selanjutnya dapat dibagi menjadi
tiga bagian. Pertama hasanah dari segi akal, kedua dari segi hawa
nafsu/keinginan dan ketiga hasanah dari segi panca indera.[30] Lawan dari al-hasanah
adalah al-sayyiah. Yang termasuk al-hasanah misalnya keuntungan,
kelapangan rezeki dan kemenangan. Sedangkan yang termasul al-sayyiah misalnya kesempitan, kelaparan dan keterbelakangan.
Pemakaian kata al-hasanah yang
demikian itu misalnya kita jumpai pada ayat yang terjemahannya berbunyi:
-
“Ajaklah manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik.” (Q.S.
Al-Nahl 16:125)
-
“Barangsiapa yang mendatangkan kebaikan, maka baginya
kebaikan.” (Q.S. AL-Qashash 28:84)
Adapun kata al-thayyibah khusus digunakan untuk
menggambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada pancaindera dan jiwa,
seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan sebagainaya.[31] Lawannya adalah al-qabihah
artinya buruk. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang terjehmahannya
berbunyi:
-
“Kami turunkan kepadamu manna dan salwa. Makanlah dari
makanan yang baik-baik yang kami berikan kepadamu.” (Q.S. Al-Baqarah 2:57)
Selanjutnya kata al-khair digunakan untuk menunjukkan
sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan
dan segala sesuatu yang bermanfaat. Lawannya adalah al-syarr.[32] Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang
terjemahannya berbunyi:
-
“Barangsiapa yang melakukan sesuatu kebaikan dengan
kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha
Mengetahui.” (Q.S.
Al-Baqarah 2:158)
Adapun kata al-mahmudah digunakan untuk menunjukkan
sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh
Allah SWT.[33] Dengan demikian kata al-mahmudah lebih menunjukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan
spiritual. Hal ini misalnya dinyatakan dalam ayat yang terjemahannya berbunyi:
-
“Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud
mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji.” (Q.S. Al-Isra’ 17:79)
Selanjutnya kata al-karimah digunakan untuk
menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam
kenyataan hidup sehari-hari.[34] Selanjutnya kata Al-karimah
ini biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang skalanya
terbesar, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik kepada kedua
orang tua dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman yang terjemahnnya berbunyi:
-
“Dan janganlah kamu mengucapkan kata uf-cis kepada
kedua orang tua, dan janganlah membentaknya, dan ucapkan pada keduanya ucapan
yang mulia.” (Q.S. Al-Isra’
17:23)
Adapun kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada
upaya memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut
terkadang digunakan sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat
manusia. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah
Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan jika kata untuk manusia maka
yang dimaksud adalah ketaatannya.[35] Misalnya terlihat pada ayat yang terjemahannya
berbunyi:
-
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat
itu suatu kebaikan, akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah kebaikan orang
yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta dan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan.” (Q.S.
Al-Baqarah 2:177)
Selanjutnya tentang al-birr ini dijelaskan bahwa seoramg sahabat Nabi SAW. Bernama
Wabishah bin Ma’bad berkunjung kepada Nabi SAW., lalu beliau menyapanya dengan
sabda:
Engkau datang
menanyakan tentang al-birr (kebaikan)? “Benar wahai Rasul” Jawab Wabishah.
“Tanyailah hatimu!” Al-birr (kebaikan) adalah sesuatu tentang terhadap jiwa,
dan tenteram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan
membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa. (HR.
Ahmad dan Ad-Darimi)
Dalam hadisnya yang lain
Nabi menjelaskan al-birr dengan
sabdanya”
Al-birr
(kebaikan) ialah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang beredar di hatimu
yang kamu tidak suka orang lain mengetahuinya.” (HR. Ahmad)
Dalam hadis-hadis tersebut
kata al-birr dihubungkan dengan
ketenangan jiwa dan akhlak yang baik dan merupakan lawan dari dosa. Ini
menunjukkan bahwa al-birr dekat
artinya dengan akhlak yang mulia, atau al-birr
ini termasuk salah satu akhlak yang mulia.
Adanya berbagai istilah
kebaikan yang demikian variatif yang diberikan Al-Qur’an dan Hadis itu
menunjukkan bahwa penjelasan tentang sesuatu yang baik menurut ajaran Islam
jauh lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan dengan arti kebaikan yang
dikemukakan sebelumnya. Berbagai istilah yang mengacu kepada kebaikan itu
menunjukkan bahwa kebaikan dalam pandangan Islam meliputi kebaikan yang
bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan di
akhirat serta akhlak yang mulia.
Untuk menghasilkan kebaikan
yang demikian itu Islam memberikan tolak ukur yang jelas, yaitu selama
perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapat keridahan Allah SWT yang
dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas. Perbuatan akhlak dalam Islam baru
dikatakan baik apabila perbuatan yang dilakukan dengan sebenarnya dan dnegan
kehendak sendiri itu dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah SWT. Untuk itu
peranan niat yang ikhlas sangat penting.
Berdasarkan petunjuk
tersebut, maka penentuan baik dan buruk dalam Islam tidak semata-mata
ditentukan berdasarkan amal perbuatan yang nyata saja, tetapi lebih dari itu adalah
niatnya. Hal ini dinyatakan oleh Ahmad
Amin dengan mengatakan bahwa hukum akhlak ialah memberi nilai suatu perbuatan
bahwa ia baik atau buruk menurut niatnya.[36]
Selanjutnya dalam menentukan
perbuatan yang baik dan buruk itu, Islam memperhatikan kriteria lainnya yaitu
dari segi cara melakukan perbuatan tersebut. seorang yang berniat baik, tapi
dalam melakukannya menempuh cara yang salah, maka perbuatan tersebut dipandang
tercela. Orang tua yang memukul anaknya hingga cacat seumur hidup tetap dinilai
buruk, sungguhpun niatnya agar anak tersebut menjadi baik. Demikian pula
seorang yang mengeluarkan sedekah dianggap baik menurut agama, tetapi jika cara
memberikan sedekah tersebut dapat menyakitkan hati si penerima, maka perbuatan
tersebut dinilai tidak baik.
Selain itu perbuatan yang
dianggap baik dalam Islam juga adalah perbuatan yang sesuai dengan petunjuk
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tersebut. Taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, berbakti kepada orang tua, saling menolong dan mendoakan dalam
kebaikan, menepati janji, menyanyangi anak yatim, jujur, amanah, sabar, ridla,
ikhlas adalah perbuatan yang baik karena sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an.
Sebaliknya sikap membangkan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, durhaka
kepada orang tua, saling bertengkar dan dendam, mengingkari janji, tidak peduli
dengan nasib anak yatim, curang, khianat, riya, putus asa dan tidak menerima
keputusan Tuhan adalah perbuatan yang buruk karena bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Namun demikian, al-Qr’an dan
al-Sunnah bukanlah sumber ajaran yang eksklusif atau tertutup. Kedua sumber
tersebut bersikap terbuka untuk menghargai bahkan menampung pendapat akal dan
pikiran, adat-istiadat dan sebagainya yang dibuat oleh manusia, dengan catatan
semuanya itu tetap sejalan dengan petunjuk a-Qur’an dan al-Sunnah. Ketentuan
baik dan buruk yang didasarkan pada logika dan filsafat dengan berbagai
alirannya sebagaimana disebutkan di atas, dan tertampung dalam istila etika,
atau ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada istilah adat-istiadat tetap
dihargai dan diakui keberadaannya. Ketentuan baik dan buruk yang terdapat dalam
etika dan moral dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk menjabarkan
ketentuan baik dan buruk yang ada dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an misalnya menyuruh
berbuat baik kepada kedua orang tua, tapi cara berbuat baik kepada kedua orang
tua dalam al-Qur’an itu tidak ada penjabarannya. Untuk menjabarkannya bisa
digunakan ketentuan dalam etika atau moral. Orang Jawa misalnya berbeda cara
menghormati kedua orang tuanya dengan orang Sunda, Bali, Sumatera dan
seterusnya. Namun demikian perbedaan itu masih berada dalam tema menghormati kedua
orang tua, dan ini berarti tidak keluar dari kerangka Islami.
Demikian pula cara
menghormati tetangga, cara menempati janji, cara berbuat baik kepada anak yatim
piatu dan sebagainya memerlukan bantuan penjabaran dari hasil daya Ijtihad akal
dan budaya manusia. Di sinilah letak sifat baik-buruk ajaran Islam yaitu dari
satu segi mengandung universal dan mutlak yang tidak dapat berubah, sedangkan
pada segi lain dapat berubah sebagaimana yang diberikan oleh etika dan moral.
Dengan demikian keuniversalan ketentuan baik buruk dalam ajaran Islam tetap
sejalan dengan kekhususan yang terdapat pada nilai budaya yang berkembang dalam
masyarakat.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Baik adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan luhur, bermartabat, meneyenangkan,
disukai manusia dan memiliki tujuan yang baik. Sedangkan buruk adalah segala
sesuatu yang berhubunagn dengan sesuatu yang rendah, hina, menyusahkan, dibenci
manusia dan tidak mempunyai tujuan yang baik.
Ukuran baik dan
buruk dalam ilmu akhlak adalah adat istiadat, nurani, rasio, pandangan individu
dan norma agama. Aliran-aliran baik buruk pada masa itu antara lain aliran
Hedonisme, Sosialisme, Humanisme, Utilitarisme, Vitalisme, Religiosisme,
Evolution.
Untuk
menghasilkan kebaikan yang demikian itu, Islam memberikan tolak ukur yang
jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapat
keridahan Allah SWT yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas.
Perbuatan akhlak dalam Islam baru dikatakan baik apabila perbuatan yang
dilakukan dengan sebenarnya dan dnegan kehendak sendiri itu dilakukan atas
dasar ikhlas karena Allah SWT. Untuk itu peranan niat yang ikhlas sangat
penting.
Berdasarkan petunjuk tersebut, maka penentuan baik dan
buruk dalam Islam tidak semata-mata ditentukan berdasarkan amal perbuatan yang
nyata saja, tetapi lebih dari itu adalah niatnya
perbuatan yang dianggap baik dalam Islam juga adalah
perbuatan yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan perbuatan
yang buruk adalah perbuatan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah
tersebut. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berbakti kepada orang tua, saling
menolong dan mendoakan dalam kebaikan, menepati janji, menyanyangi anak yatim,
jujur, amanah, sabar, ridla, ikhlas adalah perbuatan yang baik karena sesuai
dengan petunjuk Al-Qur’an. Sebaliknya sikap membangkan terhadap perintah Allah
dan Rasul-Nya, durhaka kepada orang tua, saling bertengkar dan dendam,
mengingkari janji, tidak peduli dengan nasib anak yatim, curang, khianat, riya,
putus asa dan tidak menerima keputusan Tuhan adalah perbuatan yang buruk karena
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata
Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2003.
Santalia
Indo, Akhlak Tasawuf, Makassar: Alauddin Perss, 2011.
As
Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
[3] Hombay
dkk, The Advance Leaner’s Dictionary of
Current English, (London: Oxford University Press,1973), hlm.430.
[7] Prof.Dr.H.Abuddin
Nata,M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada:1996), cet.I,hlm.104.
[8] New
Twentieth Century Dictionary of English Language, hlm.63; Esiklopedia
Indonesia, hlm.557; Asmaran As, Pengantar
Studi Akhlak, hlm.26.
[12] Ahmad
Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (terj.)
K.H. Farid Ma’ruf, dari judul asli, Al-Akhlaq,
(Jakarta: Bulan Bintang,1983), cet.III,hlm.87.
[27] Prof.Dr.H.Abuddin
Nata,M.A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada:1996), cet.I,hlm.114.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar